Diary adalah salah satu bentuk barang personal punya anak yang tidak
boleh orang lain tahu. Itu sebenarnya mengajarkan boundary ke anak-anak.
Melatih life skill dalam segi menulis, bagaimana caranya berperilaku
asertif, bagaimana caranya berpikir kritis, bagaimana caranya menyampaikan
pendapat, itu semua bisa dilatih dengan menulis diary.
Ketika guru mengambil diary, itu sebenarnya mengambil kesempatan anak untuk berlatih hal-hal tersebut. Itu sangat jahat.
“Gimana kalau anak-anak ketika menulis diary itu yang diomongin lawan jenis, ajang surat-suratan dan lain-lain yang menurut guru itu adalah hal negatif?”
Diary adalah bentuk katarsis ketika anak tidak mampu meluapkan emosi di kehidupan nyata, dia tumpahkan di buku diary. Dan itu adalah salah satu bentuk yang sehat. Karena buku diary itu sejatinya adalah bukan tugas sekolah yang harus diperiksa.
Analoginya seperti ini, ketika anak ingin mengikuti lomba pasti harus latihan, dan latihan itu pasti ada porsi untuk latihan sendiri, tidak semua harus dipantau. Ketika latihan terus-menerus dikoreksi, pasti tidak akan percaya diri.
Tau nggak sih? Sebenarnya kalian itu sedang menggeneralisasi peristiwa dan itu tidak bijak. Tidak terjadi di kamu bukan berarti tidak terjadi di orang lain. Banyak yang trauma gara-gara diary dibacakan di depan umum, dibakar, diambil tanpa sepengetahuan, dan lain sebagainya. Kalimat yang seakan-akan merendahkan pengamalaman orang lain itu bukan perilaku yang menunjukkan empati ya...😊
Harus benar-benar concern, effort mikirin tentang anak, penanganan anak, perkembangan anak kepada musyrif-musyrifah, asatidz-asatidzah, mudabbir-mudabbiroh, pembina asrama, terdapat anak yang butuh difokuskan, itu adalah suatu langkah awal agar penanganan anak di pesantren menjadi lebih baik.
.
.
.
By: Shaila Hanifah Zainab, S. Psi.
Konselor Pendidikan & Keluarga
Post a Comment (0)