Meskipun itu adalah Joko
Tingkir yang dihormati, Raden Hadiwijaya, Raja Pajang. Mengapa seolah-olah
dawet adalah minuman yang dipandang rendahan? Sehingga tidak pantas diminum
oleh seorang waliyullah, seorang bangsawan, seorang raja, seorang ulama’. Seolah-olah
dawet adalah identitas harga diri yang tidak memiliki muru’ah.
Jangan-jangan selama ini
kita buta melihat bangsa kita. Saya memejamkan mata, seandainya Raden
Hadiwijaya hidup hari ini, sedang melewati jalan raya antara Cilacap-Banyumas, di
mana banyak sekali yang berjualan dawet di pinggir jalan, pasti Raden
Hadiwijaya akan duduk di sana dan merasakan dawet buatan bangsanya. Sang Raden
akan terkesan dengan dawet yang dibuat dari bahan-bahan yang ditanam sendiri di
bumi pertiwi warisan leluhur.
Mereka seduhkan sendiri
di warung tendanya, meskipun hasilnya tidak seberapa, itulah kuliner lokal dari
alam. Mereka jaga, mereka ikhitarkan di tengah situasi perekonomian yang tidak
berpihak kepada usaha kerakyatan. Ketika ekonomi kapitalistis meraja, para tukang
dawet menampilkan kebertahanan sebagai bangsa yang berbudaya. Jika Raden Wijaya
adalah bangsawan waliyullah, beliau tidak membiarkan penjual dawet di hina
begitu saja. Apalagi di hina sesama orang Islam yang akhir-akhir ini dikelambui
pikiran saklek.
Si Joko Tingkir pasti minum
dawet sepuasnya sampai hilang rasa pahit dan dahaga. Si Joko Tingkir pasti
berpikir, ada beberapa anak desa bersekolah, mondok, bahkan kuliah dari hasil
para orangtua yang menjual dawet. Si Joko Tingkir pasti berpikir, sudah ada
beberapa keluarga dapat menjalani hidup kendati sederhana dengan berjualan dawet.
Si Joko Tingkir pasti berpikir, dawet adalah identitas budaya bangsa, khazanah
kuliner Nusantara yang wajib lestari dan bestari, dan para penjual dawet tak ubahnya
pahlawan-pahlawan kebudayaan yang melawan makanan—minuman bermerek “penjajah”.
Saya yakin, dawet tidak
akan menurunkan marwah seorang Joko Tingkir. Malah dawet menguatkan identitas
Joko Tingkir sebagai bangsawan yang bukan bangsawan-bangsawanan, sebagai
waliyullah bukan wali-walian, karena menitiskan wali-wali yang masyhur di Indonesia
salah satunya adalah Hadratussyekh Hasyim Asy-‘ari. Kecuali bila Joko Tingkir
seperti bangsawan-bangsawan zaman sekarang, seperti ustadz-ustadz zaman sekarang,
yang membutuhkan hormat, yang pragmatis, senang dengan merek-merek impor. Joko Tingkir
tidak butuh itu semua. Saya haqqulyaqin, ainulyaqin.
Pencipta lagu Joko
Tingkir tidak usah meminta maaf. Masyarakat harus bertertimakasih atas
kehebatan lirik lagu itu. Netizen serasa kembali dihadrahkan sosok Joko
Tingkir dan sejarah, diingatkan untuk jangan gengsi merasakan konsumsi khas
Indonesia.
Rupanya lagu itu mengandung
nilai kebaikan dan khas suara masyarakat yang selalu dibikin ruwet oleh kebijakan
yang tidak bijak, dari sistim yang tidak pernah berpihak. Kenapa orang-orang tidak
fokus pada substansi dan esensi lirik lagu, tapi justru pada Joko Tingkir dan
es dawetnya?
By: Raedhu Basha (Lora Badrus Shaleh)
Seniman, sastrawan, antropolog berkebangsaan Indonesia, dikenal melalui sejumlah karyanya berupa cerita pendek, puisi, esai sastra dan etnografi yang dipublikasikan media massa, sering mendapatkan penghargaan dan pemenang lomba sastra nasional maupun tingkat ASEAN.
Raedhu Basha's Instagram, clik this!
Post a Comment (0)